Deli Serdang,Kincirnews.com || Sidang ketiga perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap anak di bawah umur kembali digelar di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Rabu, 28 Mei 2025. Sidang dijadwalkan berlanjut pekan depan, sebagaimana disampaikan Adi Warman Lubis, Ketua Umum TKN Kompas Nusantara sekaligus Pagar Unri Prabowo-Gibran untuk Negara Republik Indonesia.
Sorotan publik kini tertuju pada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Desi Harahap, S.H., yang dinilai terburu-buru menjatuhkan tuntutan ringan—1 tahun 6 bulan penjara—kepada terdakwa M.P., tanpa lebih dulu memeriksa saksi-saksi kunci di persidangan. Sikap ini menuai kecaman dari berbagai kalangan, termasuk aktivis hukum dan pemerhati perlindungan anak.
“Ada apa dengan jaksa ini? Mengapa tiba-tiba langsung membacakan tuntutan tanpa proses pemeriksaan saksi? Ini sangat janggal dan mencurigakan,” ujar Adi Lubis kepada wartawan.
Menurutnya, tuntutan tersebut mencederai rasa keadilan masyarakat. Seharusnya, jaksa menghadirkan dan menggali keterangan dari korban, saksi mata, dan pihak keluarga terlebih dahulu.
“Kami minta Kajari, Kajati, bahkan Mahkamah Agung turun tangan memeriksa jaksa ini. Jika tidak, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum akan terus merosot,” tegasnya.
Adi juga mendesak Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto untuk memberi perhatian khusus terhadap perkara ini. “Presiden tidak boleh diam. Ini soal keadilan bagi anak bangsa yang jadi korban kekerasan. Kalau dibiarkan, hukum adil hanya akan jadi jargon kosong,” ungkapnya.
USA, ibu kandung korban yang juga istri terdakwa, dalam persidangan mengungkap bahwa kekerasan telah berlangsung bertahun-tahun. Ia juga mengaku turut menjadi korban kekerasan fisik dan psikis. Bahkan, terdakwa M.P. diketahui sebagai pengguna sabu dan penjudi online—fakta yang diakui langsung oleh terdakwa di depan hakim.
Yang membuat publik terkejut, pada sidang kedua JPU Desi langsung membacakan tuntutan, tanpa memperdalam keterangan ataupun menelusuri bukti-bukti pendukung.
“Ini bukan kekerasan biasa. Anak dipukul dengan galon Aqua hingga pecah, dihantam di kepala, badan, dan kaki, bahkan saat kejadian terdakwa memegang besi. Korban luka berat dan mengalami trauma serius,” tegas Adi.
Ia menilai tuntutan 1 tahun 6 bulan sangat tidak adil, dan tidak mencerminkan bobot kekerasan yang dilakukan.
“Seharusnya jaksa menuntut maksimal—bisa sampai 10 tahun penjara. Ini bukan cuma pelanggaran hukum, tapi pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusiaan,” katanya.
Adi juga menegaskan, jika Kejatisu tidak menindak tegas jaksa Desi, maka pihaknya bersama elemen masyarakat siap melakukan aksi turun ke jalan.
“Kalau keadilan tidak hadir di pengadilan, maka rakyat yang akan menjemput keadilan itu. Hukum jangan sampai tunduk pada kekuasaan atau kepentingan,” tegasnya.
Perkara ini menjadi alarm keras bahwa keberpihakan pada korban serta transparansi hukum adalah harga mati untuk menjaga kepercayaan rakyat terhadap sistem peradilan.
(Irena)












